Kamis, 12 Juni 2008

FILM
Mimpi (Imajinasi x Khayalan)2+Usaha = Kenyataan

(Oleh : Sapto Raharjo Langit)


Pandangan yang telah terintegrasi ketika batasan tebal budaya timur dan barat terjadi sebagai pemisah kultural dan struktural. Padahal masing adalah simpul pilihan filsafat menentukan cara atau gaya bertahan hidup. Makna keterbelakangan dan maju sebagai komando pemisah antara modern dan tradisional. Ketika gelombang gaya yang efisien, efektif, operasional serta fungsional melanda sebagai jalur transformasi nilai ketika diperbandingkan. Nilai tradisional yang erat dan hormat dengan ekosistem, ekologi, ekonomi hingga eko-eko yang lain hanya hidup di gorong – gorong kota. Desa simbol tradisi bertransformasi menjadi kekota-kota-an. Belut, cacing tanah, mikro organisme, kerbau, ular yang berjasa menyuburkan tanah pertanian eksodus mencari lahan yang tak terjamah modernisasi.
Berpikir dan bertindak secara rasional tidak dapat diungkap secara sederhana karena harus melalui tahapan struktural dan kultural. Layak sudah tanah yang mengeras akibat DDT dan Urea (hasil modernisasi) menggantikan kosmos lambat laun mematikan lahan tani. Bahkan lahan – lahan tani saat ini telah capek karena telah diperdaya untuk berproduksi. Begitulah floating mass akan terjadi ketika kebutuhan primer tidak mencukupi dan harus import. Mungkin postmodernisme sebagai penengah dua keadaan tersebut ibarat kebutuhan antara kebutuhan jasmani dan rohani terpenuhi secara seimbang.
Film cenderung menawarkan impian dan tamasya spiritual. Sebuah proyek hiperialitas di dalam visi misinya. Proyek keinginan dan harapan yang dicita-citakan sebelum kenyataan terjadi di bina berketerusan. Hingga pandangan kosmologi original berubah menjadi modern atau tidak terbelakang. Ibarat mengusir habitat natural menuju lahan kota dengan impian dan imajinasi menawarkan sebuah kenyataan. Negara modern (maju) selama ini tetap eksis dan mampu menghidupkan sistem operasional, fungsional dan struktural-nya karena tidak lelah memproduksi mimpi hiperealitas-nya. Kapan Indonesian Dream’s menjiwai film nasional dengan mengikuti kehendak batasan paradigma kepribadian nasional-nya.
Rasionalitas film hollywood hingga rumah-rumah produksi eropa sampai bollywood sebagai perusahaan pencipta impian dan khayalan. Impian dan kahayalan yang tersistematis itu kita sebut dengan dongeng atau mitos – mitos baru mereka. Film sebagai metodelogi perpanjangan sistem indera, pikiran, perasaan hingga budi yang melintas di benak siapa saja yang menyerap. Kemampuan strategis itulah yang mampu merubah tatanan struktural dan kultural kosmologi menjadi kosmologi baru (mitos baru). Mempengaruhi struktur dan kultural ouikemene yang telah mapan tanpa resiko. Menjajah dengan biaya sosial yang nyaris rendah bahkan untung.
Panduan gaya berkooperasi, berkerabat dan bersenggama dengan jaringan masyarakat internasional menentukan harga sebuah pemisah kepribadian yang siap dipertarungkan. Pasar bebas (kompetitif) sebagai ujian agar tetap bertahan hidupnya. Sederhananya, multi-nasional kooperasi di berbagai aspek selalui diiringi penciptaan imajinasi memori terlebih dahulu. Dengan memutar film, maka jaring – jaring jala terhubung dan melekat di dalam memori imanatif penikmatnya. Kelangsungan hidup itulah berpengaruh dalam bisnis yang tidak mampu lepas dalam jaring – jaring kapital (modal) sebagai prasarana pembentuk ideal pasar. Terkadang ideal terbentuk oleh kompetisi pasar yang secara singkatnya merubah kultur kosmologi.
Kosmologi, etnologi, semiotika-linguistik di dalam suguhan film selalu menyertainya. Dari sinilah perspektif kebudayaan membawa strategi-strateginya dalam sebuah kajian. Apakah Film Indonesia yang mampu membawa segepok gagasan selalu cenderung tanpa kajian perspektif kebudayaan ? apakah film Indonesia mampu menumbuhkan cacing tanah, belut hingga mikro-organisme liar hidup di persawahan dan melahirkan kerbau-kerbau dan ular menjadi teman para petani ? apakah film Indonesia mampu menyuburkan tanah, hingga petani jinak menggarapnya?
Film hantu “horor” lebih mujarab untuk mengusir gaya mental hedonis yang menyerang para remaja Indonesia. Setidaknya kosmologi kepribadian bangsa terbangun mandiri sedikit demi sedikit. Jika film hantu dipersoalkan dan sudah tidak menakuti, di karenakan hantu itu telah bersatu dipola pikir manusia. Apakah sepantasnya dibiarkan ketika manusia telah menjelma menjadi iblis atau sebaliknya. Akhirnya kesadaran gen-ial mistis tidak terbangun sesuai dengan kosmologi yang sebenarnya, karena hantu – hantu sudah tak terlihat dipinggir – pinggir kuburan.
Salah satu batasan modern dan rasional yang telah terpapar diatas nyaris menyisipkan dasar-dasar tanpa logos. Persoalan penyebab yang luput dari persoalan film adalah imajinasi yang mencipta hipokritis bangsa, dekadensi moral hingga masyarakat yang konsumtif diakibatkan oleh perubahan kosmologi. Apakah film Indonesia di tahun 2008 ini tidak menjawab kenyataan itu. Padahal hal yang paling sederhana untuk menjawab kenyataan-kenyataan itu dengan ditayangkannya film horor atau kisah-kisah hantu (berbeda dengan kisah – kisah Tuhan yang ada disinetron). Mengapa film horor harus dipersoalkan sebagai hal yang terbelakang dan tidak rasional? Justru proses transformasi menghantarkan kosmologi baru (mitos baru). Inti pokok ini ditawarkan sebuah pertimbangan batasan rasionalitas dan tidak logos. Selebihnya patut dibicarakan tentang perubahan kosmologi yang nyaris menghancurkan struktur dan kultural bangsa ini. Patut direfleksi, perlu perjalanan 30 tahun lebih ke depan untuk merubah kosmologi lama menjadi kosmologi baru menjadi mapan. Apakah sudah sepantasnya film Indonesia di tahun 2008 ini mengawali dirinya sebagai agen-agen ganda negeri kooperasi demi menciptakan dunia mitos yang baru?
Apabila dilihat dalam sebuah kajian Film sesuai perspektif kebudayaan sebagai penentu pasar terbagi oleh empat isu dalam wacana Indonesia dream’s. dominasi sub-ordinasi mazhab demokrat, mazhab republik, mazhab kepribadian bangsa dan mazhab teokrasi. Perlu dijawab lebih awal sebagai modul pertanyaan yang harus dijawab bagi film Indonesia dari masa mendatang. Sekali lagi, semaraknya film horor adalah pemberontakan kritis terhadap proyek modernitas sebagai berbangkitnya wacana kognisi.